19 September 2013

Frosch Class, Andalan Armada TNI AL

19 September 2013


KRI 537 Teluk Manado (photo : indra_panoramio)

KEBERADAAN Kapal Perang Republik Indonesia (KRI) jenis Landing Ship Tank (LST) dan kapal Landing Platform Dock (LPD) amat penting dalam penyebaran pasukan ke suatu wilayah. Dalam operasi amfibi, peranan LST sangat krusial dalam penyerbuan pasukan ke wilayah musuh.

Di lingkungan TNI Angkatan Laut, keberadaan LST dan  LPD dinaungi oleh Satuan Kapal Amfibi (Satfib) yang terdiri dari Satfib Koarmabar dan Satfin Koarmatim. Bicara lebih spesifik tentang LST di Satfib TNI AL, tentu tidak bisa dilepaskan dari keberadan Frosch Class (LST kelas Frosch) buatan Jerman Timur. Alasannya jelas, jumlah Frosch class mencapai 14 unit, artinya kapal ini adalah tipe LST yang paling banyak dioperasikan TNI AL.

Dari sisi daya muat perlengkapan yang dibawa, termasuk kapasitas mengangkut pasukan marinir, LPD memang jauh lebih unggul dibanding LST TNI AL yang ada saat ini. Tapi dari segi kuantitas, unit LPD TNI AL  masih terbatas, hingga kini ada 5 kapal, yaitu KRI Dr Soeharso, KRI Makassar, KRI Surabaya, KRI Banjarmasin, dan KRI Banda Aceh. Sementara untuk menunjang misi operasi amfibi dalam skala besar dan beragam tugas operasi militer bukan perang, LST masih menjadi yang paling dominan. Dan, memang dari segi jumlah, LST TNI AL jumlahnya cukup besar, yaitu 26 unit yang terdiri dari berbagai kelas, termasuk Kelas Teluk Semangka (KRI Teluk Semangka). Dipadang dari segi kuantitas, rasanya TNI AL merupakan operator LST terbesar di kawasan Asia Tenggara. Agar tak asing, satu per satu kami sebutkan Frosch class TNI AL yaitu:



Bila dirunut dari spesifikasinya, Frosch class dengan bobot penuh (full) 1.900 ton adalah LST tipe medium (menengah). LST ini punya dimensi 90,70 x 11,12 x 3,4 meter. Ditenagai dua mesin diesel dengan dua shafts yang menghasilkan tenaga 12.000 bhp. Jangkauan berlayarnya bisa mencapai 2.450 km. Meski ukurannya medium, Frosch class dapat membawa 11 tank amfibi atau muatan kargo seberat 400 – 600 ton.  Untuk membawa pasukan pendarat, kapal dengan jumlah awak 42 orang ini diperkirakan bisa dimuati maksimum 1 kompi marinir.

LST Frosch class dibangun oleh galangan VEB Peenewerft, Wolgast, Jerman Timur pada periode tahun 1976 hingga 1980. Satu nasib dengan korvet Parchim dan penyapu ranjau kelas Kondor yang juga diborong TNI AL, LST Frosch class pasca reunifikasi Jerman juga dipensiunkan dari arsenal armada AL Jerman. Keseluruhan jenis kapal ini memang diborong ke Indonesia lewat lobi BJ Habibie yang menjabat  selaku Menteri Negara Riset dan Teknologi di awal tahun 90-an.


KRI 536 Teluk Sibolga (photo : Kaksus Militer)

Lalu bagaimana dengan persenjataan di Frosch class? Senjata yang melekat pada kapal pendarat ini sejatinya cukup sangar, aslinya sejak tahun 1986, Volksmarine (AL Jerman Timur) melengkapi beberapa Frosch dengan meriam laras ganda AK-725 kaliber 57mm. Meriam ini adalah senjata utama pada korvet Parchim, sayangnya saat Frosch dijual ke Indonesia, meriam ini nampak sudah dilepas, sebagai gantinya adalah meriam Bofors kaliber 40mm.

Sebagai elemen perlindungan (decoy) dari serangan rudal udara, Frosch class juga dibekali dengan dua dispenser chaff PK-16, masing-masing tabung terdiri dari 16 tabung peluncur. Kemampuan elektronik Frosch class ditunjang  satu radar navigasi TSR-333, satu radar MR-302 Rubka untuk identifikasi obyek di udara dan permukaan.

Keberadaan LST amat vital bagi TNI-AL. Dengan LST, pasukan bisa diterjunkan lebih cepat. Dalam berbagai latihan dan operasi keberadaan LST amat membantu dalam menerjunkan pasukan marinir. Namun demikian, demi perbaikan alutsista yang lebih baik lagi, TNI-AL perlu memperbaiki persenjataan dan kemampuan LST yang sudah ada. LST yang ada sekarang sudah amat tua dan perlu diremajakan sehingga perlu dibeli yang baru

(Pelita)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar