31 Desember 2009

Kapal-kapal Buatan ST Marine-Singapore (1)

30 Desember 2009

1. COMBAT SHIPS
a. Missile Attack Craft 45m

RSS Sea Dragon (photo : Huaiwei)

Missile Attack Craft 45m (di Angkatan Laut Singapore dikenal sebagai Sea Wolf class) dirancang sebagai kapal platform pembawa rudal berbiaya efektif yang mampu melakukan misi tempur dan patroli di masa damai. Kemampuan membawa senjata yang banyak membuatnya fleksibel dalam pilihan konfigurasi senjata untuk memenuhi tugas-tugas khusus yang disandangnya.


Sea Wolf class dikembangkan berdasarkan desain TNC 45 dari Lürssen German, dua kapal pertama dibangun di German, sementara empat dibangun secara lokal oleh Singapore Technology Marine (ST Marine). Kapal ini mengalami sejumlah program upgrade pada 1980-an dan 1990-an untuk meningkatkan kemampuan menyerang dan mengikuti teknologi.

Spesifikasi :
Panjang : 44.90m
Lebar : 7.00m
Bobot : 226 ton / 254 ton (fl)
Persenjataan :
-1x57mm 70-cal Bofors SAK-57 Mk I DP
-2x12.7mm senapan mesin
-2-4 Harpoon SSM
-2xGabriel I SSM
-1xSabral point defence SAM system
Mesin : 4 mesin diesel 4 MTU, 4 props; 14.400 bhp
Kecepatan : 35 knot
Crew : 40 orang

b. Patrol Vessel 55m

Fearless class patrol vessel (photo : Naval Technology)


Patrol Vessel 55m (di Angkatan Laut Singapore dikenal sebagai Fearless class) sebagai kapal patroli modern dan platform hemat biaya terbuat dari perpaduan yang baik antara lambung kapal dari baja semi bundar dan bagian depan kapal berbentuk V-frame.

Desain tata letak kapal memungkinkan untuk diset ulang untuk menerima berbagai sensor dan sistem senjata yang diinginkan.

Fearless class dibangun secara lokal dan mencapai status operasional pada tahun 1997. Kapal ini digerakkan oleh waterjets bukannya baling-baling konvensional. Kapal bertugas untuk pertahanan pantai Singapura, 5 dari kapal ini dilengkapi dengan kemampuan anti-kapal selam.

Spesifikasi :
Panjang : 55 m
Lebar : 8.6 m
Bobot : 500 ton
Kecepatan: lebih dari 20 knots
Jangkauan : 1,800 nautical miles
Crew : 30
Persenjataan:
-76 mm OTO Melara Gun,
-Mistral SAM,
-Whitehead Torpedoes

c. Missile Corvette 62m

Victory class (photo : Cyberpioneer)

Missile Corvette 62m (di Angkatan Laut Singapore dikenal sebagai Victory class) dibuat berdasarkan desain MGB 62 yang dirancang oleh Lürssen German. RSN memesan satu skuadron (6 unit) kapal jenis ini dimana kapal pertama dibuat di German pada tahun 1990, sedangkan 5 sisanya dibuat secara lokal di Singapore oleh ST Marine.

Spesifikasi :
Panjang: 62 meter
Beam: 8.5 meter
Bobot : 600 ton
Kecepatan : Lebih dari 30 knot
Jangkauan: 2.000 mil laut
Crew: 46
Persenjtaan :
- 76 mm OTO Melara Gun,
- Harpoon SSM,
- Barak Surface to Air Missile,
- Whitehead Torpedoes,

d. Multirole Stealth Fregates 114m

Formidable class fregates (photo : Defense Update)

Pengadaan kapal fregat serbaguna ini menggantikan Sea Wolf class dan mendasarkan rancangannya pada fregat siluman La Fayette class dari Prancis.

DCNS Prancis memenangkan desain dan konstruksi kapal ini. Kontrak termasuk program transfer teknologi di mana pembangunan frigat pertama dilakukan di Perancis dan kemudian lima frigat lagi dibangun di Singapura oleh ST Marine. Kapal mulai diluncurkan sejak tahun 2004 dan saat ini keenamnya telah bertugas semua.

Spesifikasi :
Panjang : 114 meter
Lebar : 16 meter
Bobot : 3.200 ton
Kecepatan: Lebih dari 25 knot
Jangkuan: 3.500 mil laut
Crew: 71 + 19 air detachment
Persenjataan :
-76 mm OTO Melara Gun,
-Harpoon Missiles,
-Aster VLS Surface to Air Missile,
-Whitehead Torpedoes
Shipboard Helicopter : Sikorsky S-70B

e. Mine Counter-Measure Vessel 62m

Bedok class MCMV (photo : Huaiwei)


Kapal ini dirancang berbasiskan Landsort class Mine Counter-Measure Vessels Swedia, kapal dilengkapi dengan Mine Disposal Vessels secara kendali jarak jauh yang mampu mendeteksi, menemukan, mengidentifikasi dan menghancurkan ranjau laut modern.

Kapal pertama, RSS Bedok, dibangun oleh Karlskronavarvet di Swedia sedangkan tiga kapal lainnya yang diprefabrikasi di Swedia kemudian ditransfer ke Singapura untuk perakitan akhir oleh ST Marine. Kapal-kapal ini terbuat dari glass reinforced plastic untuk menjaga sifat akustik dan magnetik rendah.

Spesifikasi :
Panjang 47,5 meter
Lebar: 9,6 meter
Bobot : 360 ton (fl)
Kecepatan: 15 knot
Jangkauan : 2500nm
Crew: 39
Persenjataan:
- 40 mm BOFORS Gun
- 4x7.62mm senapan mesin

f. 141m Landing Platform Docks

Endurance class (photo : pages.intnet)


Meskipun kapal ini menggunakan well docks seperti LPD pada umumnya namun di Angkatan Laut Singapore kapal ini dinamakan Landing Ship Tank.

Kapal ini adalah kapal terbesar di RSN yang dirancang dan dibangun secara lokal. Setiap kapal mempunyai well docks dan flight decks yang dapat membawa dua buah helikoper ukuran medium.

Spesifikasi :
Panjang: 141 meter
Lebar: 21 meter
Bobot: 6.000 ton
Kecepatan: Lebih dari 15 knot
Crew: 66
Persenjataan :
-76 mm OTO Melara Gun,
-Mistral SAM.


(Defense Studies)

29 Desember 2009

TNI AL Siapkan Pengganti KRI Dewaruci

29 Desember 2009

KRI Dewaruci (photo : Berita Manado)

Mabes TNI Angkatan Laut merencanakan penggantian kapal latih taruna KRI Dewaruci pada 2010, sebagai salah satu program modernisasi armadanya.

"Kita pikirkan pengganti KRI Dewaruci pada 2010," ungkap Kepala Staf Aangkatan Laut (Kasal) Laksamana Madya Agus Suhartono, saat bersilahturahmi dengan kalangan media massa di Jakarta, Selasa (29/12).

KRI Dewaruci yang berukuran 58,5 meter dan lebar 9,5 meter dari kelas Barquentine ini dibangun di HC Stulchen & Sohn Hamburg, Jerman, dan merupakan satu-satunya kapal layar tiang tinggi produk galangan kapal itu pada 1952, yang masih laik layar, dari tiga yang pernah diproduksi.

Pembuatan kapal ini dimulai pada 1932, namun terhenti karena saat Perang Dunia II galangan kapal pembuatnya rusak parah. Kapal tersebut akhirnya selesai dibuat pada tahun 1952 dan diresmikan pada 1953.

Dewaruci yang dibuat H.C. Stulchen & Sohn Hamburg, Jerman Barat, pertama diluncurkan pada 24 Januari 1953, dan pada bulan Julinya dilayarkan ke Indonesia oleh taruna AL dan kadet Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI).

Setelah itu , KRI Dewaruci yang berpangkalan di Surabaya, ditugaskan sebagai kapal latih para taruna TNI Angkatan Laut yang melayari kepulauan Indonesia dan muhibah ke beberapa negara sebagai bagian dari misi diplomasi TNI Angkatan Laut.

Pada 2010, lanjut Kasal, pihaknya akan memodernisasi sejumlah kapal perangnya dengan memensiunkan sekitar enam kapal Landing Ship Tank (LST) buatan Amerika Serikat serta 21 pesawat intai maritim Nomad.

Sedangkan untuk menambah daya tempur kapal-kapal perangnya, TNI Angkatan Laut akan mempersenjatainya dengan sejumlah peluru kendali C-802 dan C-705 dari Cina.

"Selebihnya , kita juga akan mengadakan kapal-kapal patroli cepat yang sudah sudah dapat diproduksi di dalam negeri, termasuk tambahan tiga pesawat intai maritim CN-235 buatan PT Dirgantara Indonesia," kata Kasal Agus Suhartono.

Untuk memperkuat jajaran korps marinir TNI Angkatan, pada 2010 segera mendapat 17 unit tank amfibi BMP-3F dari Rusia, demikian Kasal.

(Gatra)

28 Desember 2009

Wawancara dengan KSAU Baru

28 Desember 2009

Pesawat Fokker 28 VIP (photo : Kaksus Militer)

KSAU dan Komitmen Nol Kecelakaan
Isu nol kecelakaan atau zero accident masih menjadi tantangan utama setiap Kepala Staf Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara, termasuk KSAU yang baru Marsekal Madya Imam Sufaat. Namun, Imam Sufaat tidak main-main untuk mewujudkan target tersebut pada tahun 2010 di tengah minimnya anggaran pertahanan untuk TNI Angkatan Udara.

”Kita berusaha. Kalau Presiden minta saya mundur, mau bagaimana lagi. Saya berbuat yang terbaik bagi TNI AU,” ujar Imam.

Untuk mengetahui pemikiran Marsdya Imam Sufaat, Kompas mewawancarainya di Markas Besar TNI AU Cilangkap, Jakarta Timur, Senin (21/12).

Bagaimana langkah-langkah mewujudkan target nol kecelakaan tersebut?Sudah ada Road Map to Zero Accident. Kita upayakan langkah-langkah yang dilaksanakan konsisten. Mulai dari take off saat latihan. Mulai dari engagement air to air, yaitu tidak latihan jauh, tapi dekat dengan pangkalan. Dengan perencanaan yang bagus. Kalau alokasi jam latihan, perlu ada perencanaan bagus. Di atas jangan hilang-hilangan. Kalau enggak dibantu dengan radar, bisa hilang. Kita juga mengombinasikan beberapa jenis latihan jadi satu.

Saya tekankan bahwa komandan skuadron harus kuat penguasaannya. Komandan skuadron harus tahu bagaimana kemampuan kapten pilotnya, komandan flight-nya, wingman-nya, sehingga misi yang diberikan sesuai dengan kemampuan dan kapasitas. Misalnya dia enggak mampu dengan misi malam hari, kita tidak latih. Perencanaan betul-betul kita tekankan. Komandan skuadron atau pangkalan harus lihat luar terus (kondisi udara).

Apa kondisi pesawat paling penting dalam pencapaian target nol kecelakaan?

Tidak hanya pesawat, orang juga. Beberapa kali kecelakaan adalah karena human error (kesalahan manusia). Hampir 80 persen human error, apa itu manajemennya atau operatornya.

Bisa dari maintenance (pemeliharaan), operator, atau yang mendukung. Misalnya pangkalan bilang tidak bisa landing (mendarat) karena cuaca. Dia harus berani bilang tidak boleh mendarat. Jangan biarkan pilot mengambil keputusan sendiri.

Ini program 100 hari KSAU?

Iya. Itu yang jangka pendek. Setahun ini (2010) tidak ada kecelakaan. Tahun berikutnya juga kita upayakan (tidak ada lagi kecelakaan).

Apa ada reward and punishment (mekanisme penghargaan dan hukuman) untuk pelanggaran?

Iya. Kita sudah sosialisasi. Yang penting adalah membangkitkan budaya safety (keselamatan) di satuan. Tidak hanya penerbang atau perwira, semua. Di Amerika Serikat pun pesawat canggih seperti F22 pun jatuh. Tapi, there is no room for error di atas. Penerbang tidak boleh salah.

Ini termasuk target berani?
Ya, kita harus berani. Kita usaha. Penerbang harus profesional. Untuk pesawat siap terbang, kan, sudah ada check list-nya. Kita harus upayakan secara fisik juga. Kalau memang ada gangguan, ya itu kehendak Yang di Atas.

Misalnya tahun 2010 ada satu saja pesawat yang jatuh, tindakan apa yang akan diambil?
Kalau dia salah, saya tidak akan segan-segan ganti. Tapi, kalau memang itu di luar kemampuan kita, ya semua harus care (memberi perhatian). Tidak hanya saya, tetapi seluruh Angkatan Udara.

KSAU siap mundur?
Maju mundur terserah Presiden. Kita berusaha. Kalau Presiden minta saya mundur, ya mau bagaimana lagi. Saya berbuat yang terbaik bagi TNI Angkatan Udara. Nanti yang nilai saya Panglima TNI dan Presiden.

Apa benar pesawat TNI Angkatan Udara yang benar-benar siap terbang itu cuma 40 persen?
Memang sangat tergantung anggaran. Tapi, enggak mungkin pesawat itu terus yang dipakai. Kita atur jadwalnya mana yang operasional, mana yang perawatan. Kalau anggaran cukup, ada minimum stock level (tingkat stok minimum) di gudang. Tapi, pesawat yang dipakai memang hanya yang layak untuk terbang.

Bagaimana penjabaran minimum essential forces (kekuatan minimum esensial) di TNI AU?
Itu kan jalan tengah. Yang ideal itu postur kita tahun 2024. Ada kebijakan Presiden, bisa laksanakan tugas pokok kita secara minimum. Kita bisa atasi ancaman pada saat bersamaan di dua trouble spot (titik masalah). Misalnya, TNI Angkatan Darat minta deploy (pengerahan) satu batalyon, kita harus mampu.
Kalau kita lihat dari kondisi negara yang banyak bencana, mau tidak mau TNI AU harus prioritaskan transpornya. Tetapi, sebagai TNI AU, kita harus tekankan pesawat tempur. Kalau hanya pesawat transpor, nanti namanya bukan Angkatan Udara, tapi angkutan udara.

Pesawat baru

Helikopter EC-120 Colibri (photo : Indoflyer)

Meskipun anggaran terbatas, pengadaan sejumlah alat utama sistem persenjataan (alutsista) tetap dikakukan. Seperti dijelaskan Kepala Dinas Penerangan TNI AU Marsekal Pertama FHB Soelistyo yang mendampingi KSAU selama wawancara, dalam waktu dekat TNI AU akan memiliki pesawat OV 10 Bronco, HS Hawk MK 53, dan pengganti F5E. Untuk pesawat angkut, TNI AU akan mengganti F 28 VIP, C 212, F 27, dan B 737 MPA. Selain itu, juga menyusul proses pengadaan pesawat jet tanker. Untuk helikopter, pengadaan heli Combat SAR dan heli Colibri. Untuk pesawat latih, ada penggantian AS 202. Untuk radar direncanakan pengadaan radar GCI, GCA, dan radar cuaca.
KSAU Marsdya Imam Sufaat menambahkan, tahun depan juga akan datang sejumlah pesawat tempur Sukhoi dari Rusia.

Kalau pengadaan pesawat tempur dalam waktu dekat?
Kita lagi proses untuk ganti OV 10. TNI sudah paparan dan Dephan sudah cocok. Penggantinya sementara ini dari Brasil (Super Tucano). Kita masih perlu pesawat seperti itu untuk pemberantasan pembalakan liar, narkoba, terorisme. Pesawat ini cocok. AS juga pakai di Afganistan. Kecepatan rendah dan biaya operasi lebih murah.

Kalau pengadaan Sukhoi?
Saya sudah minta supaya dipercepat. Mudah-mudahan 5 Oktober 2010 (Hari TNI) sudah ada.

Pemanfaatan simulator bagaimana?
Simulator sangat membantu karena biaya sehari-hari rendah, tapi harus efisien sehingga kalau kita punya banyak pesawat baru kita adakan simulatornya, biar tidak rugi. Harga satu simulator bisa 1,5 harga pesawat. Kita di Indonesia sudah bisa buat simulator yang standar. Di antaranya dengan simulator F 16, sehingga walau jam terbang sedikit, pilotnya bisa jago-jago.

Bagaimana pemenuhan alutsista oleh industri dalam negeri?

Tidak benar kalau ada pendapat TNI AU tidak ingin memakai produksi dalam negeri. Sejak awal TNI AU sudah pakai hasil PT DI, misalnya Cassa 212, CN 235. Puma, yang harganya mahal, kita beli. Sekarang lagi dirintis oleh Dephan kerja sama dengan Korea untuk buat pesawat tempur.

Bagaimana soal suku cadang pesawat palsu?
Yang nakal-nakal itu sudah kita tindak.

Apa kekuatan TNI AU punya efek detterent (penggentaran)?
Itu idealmya. Kata pengamat, sesuai dengan luas negara kita, bisa butuh 80 skuadron tempur. Tapi, itu tidak mungkin. Kita memerhatikan kemampuan negara. Tetapi, kita punya perencanaan sampai 2019 dan 2024.

Kemampuan penerbang-penerbang kita bagaimana?
Di Singapura dan Malaysia ada masalah perekrutan. Tidak banyak yang mau masuk Angkatan Udara. Di kita, dari lulusan SMA, cari yang nilai 8 ke atas tidak susah. Untuk AAU, kita sudah naikkan batas indeks prestasinya. Dari 2,5 jadi 2,7 sekarang. Nanti kita naikkan jadi 3. Sekarang yang di atas 3 ada sekitar 40 persen. Orangnya pintar, berdedikasi, sehingga keselamatan bisa ditekankan.

Masih banyak pelanggaran wilayah udara?
Tidak banyak. Selalu pasti kita laporkan ke Panglima TNI.

(Kompas)


24 Desember 2009

Radar TNI AU di Merauke Beroperasi 2011

24 Desember 2009


Merauke - Papua (image : GooogleMap)

Biak - Radar pemantau milik TNI Angkatan Udara (AU) yang akan dibangun di Kabupaten Merauke, Papua, dijadwalkan beroperasi tahun 2011 mendatang, guna memantau aktivitas di udara, termasuk penerbangan di perbatasan Indonesia dengan Papua New Guinea.

Panglima Komando Sektor (Kosek) IV Pertahanan Udara Nasional Biak Marsekal Pertama TNI Hadiyan Sumintaadmadja di Biak, Selasa, mengatakan, pembangunan fasilitas fisik markas satuan radar di Kabupaten Merauke akan dilakukan mulai Juni-Juli 2010.

"Sesuai rencana program kerja Kosek IV Hanudnas Biak diharapkan markas satuan Radar Merauke sudah difungsikan tahun 2011, hingga saat ini berbagai persiapan pembangunan fisik sudah dimulai," kata Marsekal Pertama Hadiyan.

Dia menyebutkan, letak geografis Kabupaten Merauke yang berbatasan langsung dengan negara tetangga Papua New Guunea dan Australia menjadi fokus perhatian pembangunan radar pemantau pesawat udara.

Ia menyebutkan, selain satuan radar Merauke, pihaknya juga pada tahun 2011-2012 akan membangun markas satuan radar di Timika, Kabupaten Mimika serta radar di Saumlaki, Maluku Tenggara Barat, Provinsi Maluku.

Sementara dalam program jangka panjang Kosek IV Hanudnas Biak, lanjut jenderal berpangkat bintang satu itu mengatakan, pembangunan satuar radar juga akan dilakukan di Sorong, Ambon dan Jayapura.

Menyinggung mengenai kasus pelanggaran udara di wilayah Satuan Radar Biak, menurut Marsekal Pertama Hadiyan, hingga tahun 2009 tidak ditemukan satupun kasus pelanggaran udara oleh penerbangan sipil.

Dibandingkan dengan tahun 2008, lanjut Hadiyan, kasus pelanggaran udara yang dimonitor satuan radar Biak kurang lebih 30 kali, semenara selama tahun 2009 tidak ada.

"Dampak dari beroperasinya satuan radar di Biak sangat nyata karena bisa mengawasi penerbangan udara yang melintas di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia," kata Marksekal Pertama Hadiyan.

(
Antara)

23 Desember 2009

RNZAF's Boeing 757 Completes Maiden Trial Flight After Upgrade

23 Desember 2009

Boeing 757 RNZAF (photo : STAero)

A Royal New Zealand Air Force's (RNZAF) Boeing 757 has completed a successful maiden trial flight to Antarctica, after undergoing a modernisation process.

Air component commander Air Commodore Steve Moore said the modernisation of the navigation system, as part of the Boeing's recent upgrade, removed many of the limitations of the aircraft to operate into the high latitudes of McMurdo.

"With the upgraded Boeing 757s we were able to look more closely at a trial flight to Antarctica," he said.

"The aim of the flight was to look at the suitability of the B757 to carry passengers to McMurdo, and the availability and suitability of passenger handling facilities, ground support equipment, and engineering support equipment required in the event the aircraft requires any maintenance."

A twin-engine short-to-medium-range aircraft, the Boeing 757 offers exceptional fuel efficiency, low noise levels, increased passenger comfort and top operating performance.

Equipped with advanced technology, the Boeing 757 can fly both long and short-range routes, and is effective in reducing airport congestion.

The New Zealand Defence Force currently operates around 12 C-130 Hercules flights to McMurdo Station annually, between October and April.

"Depending on the outcomes of the trial flight, it could be that the B757 would be a more efficient and effective way of transporting passengers than the C-130 Hercules or US Air Force C-17, enabling these aircraft to be more effectively utilised to carry cargo." Moore said.

Russia to Sell 20 MiG-29 Fighters to Burma

23 Desember 2009

MiG-29 of Myanmar Air Force (photo : Aeroflight)

Russia is to supply Burma with a further 20 MiG-29 jet fighters, according to the news agency Agence France-Presse, quoting the Russian daily Kommersant on Wednesday.

Russia and Burma signed a contract several weeks ago for the purchase of the aircraft at a cost of nearly 400 million euros (US $570 million), the paper reported, quoting a source close to the Russian arms company Rosoboronexport.

Kommersant said it was the biggest export contract for MiG-29 fighters since a deal with Algeria in 2007.
Burma took delivery of a dozen MiG-29 fighters from Russia in 2001, the paper said.
One source close to Rosoboronexport told the paper that Russia secured the MiG-29 deal by beating off an offer by China to supply Burma with “ultra-modern” J-10 and FC-1 fighters “on very advantageous conditions.”

Russia, a staunch ally of Burma at the UN, is among the country's leading arms suppliers. Russia is to build a “nuclear studies” center in Burma, which will include a 10-megawatt, light water-moderated nuclear reactor.

PAF orders 8 new PZL W-3WA Sokół

23 Desember 2009

PZL W-3WA (photo : stan)

PZL Swidnik Won 2.8 Billion Bid

Manila- The Philippine Air Force has officially ordered eight (8) W-3 Sokół combat utility helicopter from manufacturer WSK-PZL Świdnik S.A of Poland in a deal worth two billion eight hundred fifty seven million eight hundred sixty four thousand six hundred twenty five pesos (P2,857,864,625.18). Defense Secretary Norberto B. Gonzales announced the award for the combat utility helicopter during the weekend.

The W-3WA Sokół (falcon) made its first flight on July 30, 1992 and has a capacity for two crew and twelve passengers. The W-3WA has been certified by US FAR Pt 29 standards granted in May 1993 and European certification granted in December 1993.

"This is the culmination of our negotiation with the supplier. Secretary Teodoro approved the negotiated procurement of P3 billion worth of combat utility helicopters last June after two successive failure of bidding process." Secretary Gonzales said.

"The project has been two years overdue and I think its about time" says Gonzales after awarding the contract to Warsaw based helicopter manufacturer.

The budget for the combat utility helicopter (CUH) project had been released by Malacanang as early as 2007 but no firm has submitted bid proposal according to specifications and budget in two succeeding bids. The budget was part of the P5-billion modernization fund for 2007 aimed to replaced UH-1H Huey helicopters in the Air Force Fleet.

“PZL was found to have the best possible offer based on the budget so after extensive negotiation we awarded it to them” said Gonzales.

The Department of Defense is also acquiring P3 billion worth of night capable attack (NCAH) helicopters, whose bidding had also failed twice. Gonzales said that a negotiated procurement with the US Department of Defense for the purchase of second-hand attack helicopters with the same night capability is already in the works and they are hoping to seal the deal before President Arroyo's term end.

The P3 billion fund was originally part of the P5 billion budget released by President Arroyo for the purchase of combat utility and night-capable attack helicopters that formed part of the AFP Capability Upgrade Program. Additional budget of 1 billion was appropriated by the President this year adding more fund to the project.

A total of 34 priority items are included in the first phase of the re-prioritized AFP CUP shopping list, 62 in Phase 2, and 39 items in Phase 2-B.

Technical data for PZL Swidnik W-3

Engine: 2 x PZL-10V turboshaft, rated at 662kW, main rotor diameter: 15.7m, length with rotors turning: 18.79m, fuselage length: 14.21m, height: 4.2m, take-off weight: 6400kg, empty weight: 3630kg, cruising speed: 238km/h, hovering ceiling, IGE: 3200m, range: 745km, payload: 2100kg.

TNI AU Nantikan Sukhoi dan Super Tucano

23 Desember 2009

EMB-314 Super Tucano (photo : Airliners)

Postur pertahanan dirgantara akan dilengkapi dengan tambahan pesawat tempur, yaitu Sukhoi dan Super Tocano. Hal ini disampikan Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) Marsekal Madya Imam Sufaat di Jakarta, Senin (21/12).

Menurut Imam, diharapkan pada tanggal 5 Oktober 2010 pesawat Sukhoi yang baru datang itu sudah bisa ditampilkan. ”Kontrak sudah ditandatangani. Jadi, kita tunggu kedatangannya,” kata Imam.

Asisten Logistik KSAU Marsekal Muda Imam Wahyudi mengatakan, ada dua tipe Sukhoi yang dibeli TNI AU, yaitu tipe Su-27 SKM yang memiliki satu tempat duduk dan Su-30 MK2 yang memiliki dua tempat duduk. ”Yang akan datang tahun 2010 itu yang Su-27 SKM,” kata Wahyudi. (EDN/BUR)


(Kompas)

22 Desember 2009

U.S. Senate Approves 2010 Defense Budget

22 Desember 2009

US Army troop (photo : theglobeandmail)

WASHINGTON - The U.S. Congress on Dec. 19 sent President Barack Obama a massive annual military spending bill that funds current operations in Afghanistan and pays for the troop withdrawal from Iraq.

In a rare weekend vote, the Senate approved the $636.3-billion package, which cleared the House of Representatives 395-34 on Dec. 16, by an 88-10 margin.
Obama is expected to send Congress an emergency spending measure of at least $30 billion early next year to pay for his recently announced decision to send 30,000 more U.S. troops to Afghanistan.

The bill includes $101.1 billion for operations and maintenance and military personnel requirements in Iraq and Afghanistan and to carry out the planned withdrawal of all U.S. combat forces from Iraq by August 2010.

The package also funds the purchase of 6,600 new Mine Resistant Ambush Protected (MRAP) armored vehicles configured to better resist improvised explosive devices - roadside bombs used to deadly effect by insurgents in Iraq and Afghanistan.

The bill includes $80 million to acquire more unmanned "Predator" drones, a key tool in the U.S. air war in Afghanistan and Pakistan.

That campaign deploys unmanned Predator and larger Reaper drones equipped with infrared cameras and armed with precision-guided bombs and Hellfire missiles.

With little public debate in the United States, the pace of the drone bombing raids has steadily increased, starting last year during ex-president George W. Bush's final months in office and now under Obama's tenure.

The spending bill upholds Obama's ban on torture of detainees in U.S. custody, continues a general provision forbidding the establishment of permanent bases in Iraq or Afghanistan, and provides no funds to close the prison for suspected terrorists at Guantanamo Bay.

Senate Majority Leader Harry Reid praised the bill's passage.

"In addition to giving our troops a pay raise and funding more than $100 million for operation of the wars in Afghanistan and Iraq, this bill extends unemployment and makes health insurance more affordable for unemployed Americans," Reid said.

"We're keeping our country safe with critical investments in our defense and giving an important boost to our economy."

Reid took a swipe at rival Republicans, accusing them of "political maneuvering" to slow down passage of the bill in order to delay debating health care reform, the next measure the Senate will be handling.

Saab offers Sea Gripen

22 Desember 2009

Sea Gripen landing on carrier (image : Scenium)

Saab Touts Sea Gripen for India and Brazil

Saab is responding to an Indian Navy (IN) request for information (RfI) regarding future carrier-capable fighters with a new development of the Gripen NG, dubbed the Sea Gripen.

India's RfI, selectively released to bidders over recent weeks, seeks detailed information on a common aircraft design for conventional aircraft carrier operations and short take-off but arrested recovery (STOBAR) operations.

Beyond the (much delayed) entry into service of the INS Vikramaditya (the rebuilt former Russian Navy vessel Admiral Gorshkov ), India has ambitious plans to build three indigenous aircraft carriers (IACs). Near-term procurement of the MiG-29K should equip Vikramaditya and IAC 1. The IN's RfI is looking for a follow-on type to operate from IAC 2 and 3.

Jane's understands the RfI has been issued to Boeing, Dassault, Eurofighter, Lockheed Martin, Sukhoi and Saab. While India is notionally developing a naval version of the Hindustan Aeronautics Limited (HAL) Tejas Light Combat Aircraft, the RfI is a recognition that this troubled programme might not be able to deliver an operational combat aircraft in the necessary timescale. India hopes to commission IAC 2 and 3 in the second half of the next decade.

Prior to receiving the RfI Saab had completed detailed design pre-studies for the Sea Gripen in response to earlier interest from Brazil and others. In fact, designs for a navalised Gripen date back to the 1980s in Sweden. For Saab the Indian requirement is particularly important because of its potential links with Brazil's F-X2 fighter competition. The Sea Gripen would be part of the long-term industrial development package for India and Brazil, should either country select the Gripen NG. The Indian RfI also makes a specific request that India's chosen aircraft should be exportable.

Saab's Sea Gripen project leader is former Swedish Air Force Lieutenant Colonel Peter Nilsson, now vice-president of operational capabilities for the Gripen. "You have the Rafale, Super Hornet, even - some day - the JSF [Joint Strike Fighter], but no affordable option for nations that want independent seapower. Gripen has a built-in carrier capability that was part of the original design consideration. It is made for precision landings on a short strip. The aerodynamics, handling and landing qualities are all there. You don't have to mess with it," he told Jane's .

The Sea Gripen is made possible by the inherent performance characteristics of the Gripen and the structural changes introduced with the Gripen NG. It has been designed to operate from 'full-spec' carriers at a maximum take-off weight of 16,500 kg and a landing weight (with weapons and fuel) of 3,500 kg. The same basic design parameters make it well suited to STOBAR operations. Any Gripen can already operate from a standard Swedish 'roadbase' strip of 800 m x 17 m, without arrestor hooks or brake chutes. Existing flight control qualities and low approach speed make the Gripen further suited to the carrier environment.

Some of the changes demanded for the Sea Gripen include a stronger, longer nose gear, with larger tyres and a new shock absorber; a new main undercarriage capable of absorbing a 6.3 m/sec sink rate; a strengthened arrestor hook, repositioned from the current design; removal of corrosion risks from the airframe using new manufacturing techniques/materials; and integration with an approach/landing system.

The result will be an aircraft with an empty weight of under 8,000 kg with a total fuel and weapon load of around 8,500 kg. Combat radius is estimated at around 1,250 km in a maritime strike profile or 1,400 km in an offensive counter-air profile. For carrier operations the aircraft will have a service life of 8,000 flight hours with an even distribution between shipborne and land-based operations. Nilsson says the design work done so far has been a serious adjunct to the Gripen NG and has a very real footing. Asked about the inherent difficulties in taking any land-based fighter and putting it on a carrier, Nilsson replied: "If you were starting with an ordinary fighter you would have a much bigger problem."

"We have an engine [General Electric's F414] cleared for naval ops by the US Navy. We have thoroughly studied the load paths through the airframe. The Gripen is already built for high sink-rate landings in road base operations. So we need a new nose gear and undercarriage and we'll have to change some of the internal structure, but it's been analysed and it's possible. We built an arrestor hook into the Gripen NG proposal for Norway. That will have to be strengthened for carrier ops, with a new attachment point, but the work is there. Today's Gripen NG has a better wing attachment design with a more distributed load path than the current Gripen.

"The Gripen already has a salt water protection requirement. It does need more study but we already have an aircraft designed to operate in -50°C and +50°C, from the Arctic to hot-and-high with severe humidity. We don't build fighters for nice sunny days." Saab expects to make initial presentations to the IN in January 2010 and submit an RfI response the following month.

21 Desember 2009

Kapal Perang Indonesia akan Dipasangi Rudal Cina

21 Desember 2009

Rudal C-802 (photo : Militaryphotos)

Jakarta (ANTARA News) - Kapal-kapal perang Republik Indonesia (KRI) akan dipersenjatai dengan peluru-peluru kendali buatan Cina, kata Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana Madya TNI Agus Suhartono di Jakarta, Senin."

Sebelumnya, kami telah melakukan uji coba dan menggunakan peluru kendali C-802, hasilnya bagus. Dan pengadaannya kita lanjutkan dan kini tengah dalam proses di Departemen Pertahanan," katanya ketika dikonfirmasi ANTARA News usai menghadiri rapat paripurna ke-30 TNI Manunggal Masuk Desa (TMMD).

Ia mengatakan, selain peluru kendali C-802 juga tengah dijajaki pengadaan peluru kendali C-705 yang lebih ramping bentuknya dari negara yang sama. "Kedua rudal itu akan dipasangkan di kapal-kapal patroli cepat (fast patrol boat/FPB) dan kapal-kapal perang jenis Van Speijk," kata Agus.
Rudal C-705 (photo : Militaryphotos)

Kasal menegaskan, sejumlah kapal perang jenis `Van Speijk` dan kapal patroli cepat 57mm, akan ditingkatkan daya tempur dengan mengintegrasikan kembali seluruh sistem tempur dengan persenjataan dan peluru kendali yang akan ditempelkan.

"Untuk membuat peluru kendali, kita belum mampu. Masih harus mengandalkan dari luar negeri. Tetapi kalau mengintegrasikan sistem tempur kapal-kapal perang kita, PT PAL sudah mampu," ujar Agus.


LST Tua dan Nomad Pensiun

Kasal mengatakan, dengan keterbatasan anggaran pihaknya terus melakukan skala prioritas dalam pengadaan dan operasional alat utama sistem senjata. "Prioritas kami antara lain, pengamanan wilayah perbatasan maritim dan pulau-pulau terluar," kata Agus.

Ia mengemukakan, pihaknya masih melakukan pemetaan persenjataan dan perlengkapan apa saja yang dapat diserahkan pengadaan dan penanganannya kepada PT PAL.

Selain meningkatkan daya tempur sejumlah kapal perangnya, TNI Angkatan Laut juga secara bertahap akan mem-pensiunkan 27 armada perangnya terdiri atas enam kapal perang dan 21 pesawat Nomad untuk diganti dengan jenis baru dengan kemampuan dan efek tangkal yang lebih "mumpuni". (*)

Finncantieri Offering LHD to Malaysia

21 Desember 2009


A 20.000 tons LHD offered to Malaysia by Finncantieri (photo : KLSR)

Fincantieri to Malaysia to Sell 20,000 Tons a Helicopter Landing Ship Dock


KLS Langkawi Photo Report: Italian shipyard Fincantieri official to Malaysia to sell 20,000 tons of helicopter landing ship dock, just the displacement of more than South Korea's "Dokdo" was.

Fincantieri the original program is used-class amphibious assault ship San Giusto made to sell to Malaysia.


Fincantieri confirmed that they are indeed for Malaysia to re-design of new multi-purpose support ship program, set to replace some outdated San Giusto.

As to why the program launch of 20,000 tons displacement problem, Fincantieri designer of this problem seems to have some reservations.

Fincantieri Novel 2 million tons of helicopter landing dock ship, Captain 190 meters, speed 20 to 16 sailing, life force of 7000 sea miles.

Helicopter landing ship dock ships flight deck, a total of six AW101 helicopters taking off and landing points, capable of carrying 950 people department, of whom 193 officers and men called the ship.

Fincantieri Designer, Fincantieri Novel 2 million tons of helicopter landing ship dock, fully modular design that can be done to re-design, may be able to release less than 20,000 tons of the program.

(KLSReview)

20 Desember 2009

Keterbatasan Industri Penunjang Pertahanan

20 Desember 2009

Mitra industri pertahanan Indonesia (image : Defense Studies)

Keterbatasan Industri Penunjang

Niat pemerintah untuk melakukan revitalisasi industri pertahanan merupakan langkah positif untuk menuju kemandirian alat utama sistem persenjataan (alutsista). Namun, niat tersebut perlu ditopang dengan sebuah perencanaan yang matang, termasuk penyiapan industri penunjang. Dalam diskusi Peluang dan Tantangan Kebutuhan Alutsista untuk Menuju Pertahanan Nasional bertempat di Dephan, Jakarta, Selasa (24/11) lalu, Direktur Utama PT Pindad Adik Avianto Sudarsono mengakui komponen bahan baku rata-rata masih mengandalkan bahan-bahan impor. “Setiap produk Pindad memiliki kandungan bahan impor yang tinggi,” paparnya.

Direktur Utama PT PAL Indonesia Harsusanto juga mengakui proses pembuatan dan perakitan kapal masih berkisar pada bahan baku. Menurutnya, kondisi ini terjadi karena industri penunjang misalnya industri propeller dan permesinan.

Produk industri penunjang terdiri dari berbagai macam barang, seperti elektronik, propelan, besi baja, mesin, dan berbagai komponen ranpur maupun sistem senjata lain. Indonesia memang sudah mempunyai sejumlah industri strategis, seperti PT Pindad, PT Dahana, PT Krakatau Steel, PT Boma Bisma Indra, PT Barata (mesin disel), dan PT LEN, tapi semuanya belum mencukupi.

Karena itu, pembangunan industri pertahanan Indonesia, termasuk dari kalangan TNI sendiri, masih harus merangkul mitra luar negeri,seperti Bofors (Inggris) untuk meriam kaliber 57 mm, Roxel (Prancis) untuk motor proplusiSLT dan roket, CMI (Belgia) untuk sistem turret ranpur,MBDA (Prancis) untuk panser rudal atau mistral, DMD Group (Slovakia) untuk amunisi kaliber berat, Renault (Prancis) untuk power pack ranpur, PB Clermont (Belgia) untuk propelan amunisi kaliber 20mm.

Mitra-mitra lain yang sering bekerja sama dengan pihak Indonesia adalah Oto Melara (Italia), Doosan (Korsel), Hanwa/WIA(Koresl), Norinco (China),Poonsan (Korsel), dan Fimm Int (Afsel). Kondisi tersebut tidak dapat dipungkiri menjadi salah satu titik persoalan dalam pembenahan industri pertahanan dalam negeri.

Pengamat pertahanan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jaleswari Pramodhawardani mengatakan, minimnya pasokan bahan baku akan merembet ke permasalahan lain seperti terlambatnya penyelesaian pesanan-pesanan. “Selama ini kan pengguna sering mengeluh karena pesanan terlambat, itu konsekuensi dari terbatasnya bahan baku,”tandasnya.

Kondisi ini tentu sekaligus akan membuat harga alutsista yang diproduksi industri pertahanan dalam negeri lebih mahal dari produksi luar negeri. “Persoalan utamanya industri hulu yang tidak diurus, akhirnya pasokan bahan baku juga minim,” kata Jaleswari. Dia kemudian membandingkan industri pertahanan di Korea Selatan dan Republik Rakyat Cina yang memiliki industri bahan baku yang kuat.

Mantan Presiden BJ Habibie juga mengingatkan pentingnya pemerintah segera mempersiapkan industri penunjang. Dia mengharapkan pemerintah mampu untuk meningkatkan jumlah dan kualitas dari industri penunjang sebagai bagian dari program revitalisasi industri pertahanan. Menurut tokoh yang berjasa mengembangkan industri strategis Indonesia ini, industri perlengkapan dan persenjataan militer tidak ada satu industri pun yang mampu berdiri sendiri, tetapi harus ditopang juga dengan industri penunjang yang kuat dan berkualitas.

“PT PAL dalam membuat kapal perang tidak mungkin sendirian, tetapi perlu industri penunjang lainnya, seperti Krakatau Steel untuk pengadaan bajanya. Karena itu industri penunjang harus diperhatikan juga,” paparnya. Jadi, lanjut Habibie, industri pertahanan pada akhirnya mampu memproduksi alat utama sistem persenjataan (alutsista) sekaligus sebagai integrator sejumlah industri penunjang.

Industri pertahanan dengan industri penunjang yang berkualitas, kata Habibie akan mampu memenuhi kebutuhan alutsista dalam negeri secara mandiri dan bebas dari embargo. Terkait kesiapan industri penunjang tersebut, PT Krakatau Steel siap menyediakan dan mengembangkan material baja yang dibutuhkan untuk bahan alutsista. Menurut Direktur Utama PT Krakatau Steel Azwar Bujang, berbagai pengembangan material baja untuk bahan alutsista telah dilakukan.

Di antaranya dengan menambah ketebalan baja untuk plat kapal dan plat tahan peluru. Selain itu, Krakatau Steel juga memproduksi bahan laras senjata ringan dan berat untuk PT Pindad serta rocket casingbahan baku misil untuk PT Dirgantara Indonesia.

Perhatian pada industri penunjang memang patut dikedepankan, agar jangan sampai dibalik ketangguhan panser dan garangnya kapal perang di lautan yang dihasilkan oleh industri pertahanan dalam negeri ini ternyata menggunakan baut dan mur impor. Berbicara kemandirian alutsista tidak hanya terlihat dengan keberhasilan memproduksi, namun kemandirian sepenuh-penuhnya, termasuk bahan baku.

(Seputar Indonesia)

Periskop Revitalisasi Industri Pertahanan

20 Desember 2009

Panser kanon PT. PINDAD (photo : Alutsista)

Kebutuhan Alutsista Renstra 2010-2015 yang Dipesan di Industri Pertahanan Dalam Negeri

TNI-AD

-Pengadaan persenjataan infanteri
-Meriam Artileri Medan (Armed) 114 pucuk
-Rudal Mistral 156 pucuk
-Kendaraan tempur 311 buah
-Pesawat udara 132 unit
-Amunisi
-Alat perhubungan 2451 set

TNI-AL
-Kapal patroli kecil dan patroli cepat
-Kapal cepat rudal
-Kapal tanker
-Kapal Bantu Angkut Pasukan
-Kapal Bantu Angkut Tank
-Kapal Angkut Serba Guna
-Pesawat udara patroli maritim

TNI-AU
-Pesawat angkut CN-235
-Helikopter (NAS-332)
-Senapan serbu
Kepolisian
-150 Armored Water Canon
-150 Armored Personal Carrier
-10.000 revolver
-100.000 senjata api untuk Sabhara

Produsen Industri Pertahanan Pendukung

1. PT. PAL
Merupakan instansi penjuru terutama dalam rekayasa kapal perang
2. PT. Dirgantara Indonesia
Pendukung pembuatan roket/rudal, helikopter, dan fix wing aircraft
3. PT. PINDAD
Memenuhi kebutuhan senjata, meriam, amunisi, dan panser
4. PT. Dahana
Mengembangkan Amonium Nitrat dan propelan untuk bahan peledak
5. PT. LEN dan PT. INTI
Mengembangkan fasilitas alat komunikasi khusus, sistem komunikasi satelit, dan radar
6. PT. Krakatau Steel
Menyiapkan pelat baja sesuai spesifikasi yang dibutuhkan untuk produksi alutsista platform kendaraan tempur
Roket Buatan Lembaga Penerbangan dan Antariksa nasional (Lapan)

1. Roket RX-320 : berspesifikasi panjang 4736 mm diameter 320 mm, dan berat total 532 kg. Uji terbang RX-320 dilakukan Mei 2008 di Stasiun Uji Terbang Pameungpeuk, Garut, Jawa Barat

2. Roket RX-420 : adalah roket terbesar yang dibuat lembaga antariksa Indonesia. Roket RX-420 adalah roket dengan diameter 420 mm, panjang 6 m dan berbobot 1 ton. Roket ini menggunakan bahan bakar solid-komposit yang ketika diluncurkan ke angkasa memiliki jangkauan 100 km dengan kecepatan hingga 4,5 mach atau 4,5 kali kecepatan suara

3. Roket RX-520 : memiliki spesifikasi yang lebih hebat ketimbang RX-420. Sesuai desain awal, RX-520 memiliki kecepatan maksimal 1,7 km/detik. RX-520 ini memiliki panjang hingga 8,8 meter dengan bahan bakar propelan padat seperti jenis roket lain. Daya jangkau RX-520 mencapai 200 km.

Panser Anoa 6x6 versi Commando (photo : Karbol)

Alutsista Dalam Pengembangan PT. PINDAD

1. Amunisi
-Kaliber 20 mm : amunisi yang dipakai untuk senjata dengan jarak tembak jauh
-Kaliber 105 mm : amunisi untuk meriam kaliber 105mm
-Kaliber 120 mm : amunisi untuk meriam kaliber 120mm
-Surface to Surface Missile : peluru kendali yang dirancang untuk ditembakkan dari darat untuk menghancurkan target yang juga berada di darat
-Proximity Fuse : proximity fuse menyebabkan kepala rudal akan meledak pada jarak yang telah ditentukan dari target. Teknologi proximity fuse ini menggunakan kombinasi dari satu, atau beberapa sensor diantaranya radar, sonar aktif, infra merah, magnet, foto elektrik

2. Senjata
-Meriam berkaliber 20-30mm
-Meriam berkaliber 105mm
-Senjata Anti Tank
-Sniper 20mm, senjata dengan jarak tembak jauh yang menggunakan amunisi kaliber 20mm

3. Kendaraan Tempur
-Panser Canon Amphibi
-Tracked Amphibious Armored Personal Carrier
- Tracked Armored Personal Carrier

(Seputar Indonesia, Minggu 20 Desember 2009)

Hanya Kapal Selam Yang Belum Dapat Dirancang Oleh PT. PAL

20 Desember 2009


FPB-60 rancangan PT PAL (photo : Angkasa)

TNI AL-PT PAL Semakin Kompak

TNI AL ingin melibatkan dan memaksimalkan keberadaan galangan dalam negeri,salah satunya PT PAL Indonesia. Tujuannya untuk menyiasati keterbatasan anggaran Dephan sekaligus mengurangi ketergantungan terhadap asing.

Terhitung mulai 2009,TNI Angkatan Laut (AL) mulai mengubah ‘tradisi’ pengadaan Alat Utama Sistem Pertahanan (Alutsista), terutama kapal perang. Jika sebelumnya pengadaan dilakukan dengan membeli kapal jadi dari luar negeri, itu sudah mulai ditinggalkan. TNI AL ingin melibatkan dan memaksimalkan keberadaan galangan dalam negeri, salah satunya PT PAL Indonesia.

Ini untuk menyiasati keterbatasan anggaran Departemen Pertahanan (Dephan) sekaligus mengurangi ketergantungan terhadap asing terkait perlengkapan militer. Program yang digulirkan adalah dengan melibatkan PT PAL Indonesia dalam pembuatan kapal perang. Terakhir, PT PAL Indonesia yang berada di Ujung, Surabaya, menyerahkan KRI Banjarmasin-592 berjenis Landing Platform Deck (LPD).

Ini merupakan kapal ketiga dari empat yang direncanakan. KRI Banjarmasin-592 lebih istimewa karena dirakit di galangan kapal PT PAL Indonesia, walaupun secara teknologi masih bekerjasama dengan Daewoo International Corporation Shipbuilding, Korea Selatan. Sedangkan dua pendahulunya, KRI Makassar-590 dan KRI Surabaya-591 sepenuhnya dikerjakan di Korea Selatan.


Untuk pembuatan KRI Banjarmasin- 592, tenaga ahli dari Korea Selatan bertugas sebagai supervisi. Keberhasilan merakit kapal perang di galangan kapal dalam negeri ini yang disebut-sebut sebagai keberhasilan melaksanakan Transfer of Technology terhadap industri strategis nasional. “Kita harus mulai percaya diri terhadap kemampuan sendiri,” jelas Kadispen TNI AL Laksamana Pertama Iskandar Sitompul SE. Pihaknya optimistis galangan dalam negeri mempunyai kemampuan untuk membuat kapal perang, walaupun untuk sementara masih butuh supervisi dari tenaga ahli luar negeri.

Transfer of Technology akan dilakukan secara bertahap, sesuai dengan kemampuan galangan yang ada. Pihaknya mengakui tidak semua peralatan militer bisa dibuat di dalam negeri, misalnya rencana pengadaan dua kapal selam yang masih akan memesan ke luar negeri. KRI Banjarmasin-592 bisa disebut sebagai titik tolak galangan dalam negeri dalam produksi alutsista.

Melihat spesifikasinya, kapal tersebut tergolong luar biasa, memiliki berat 7300 ton dengan panjang 122 meter dan lebar 22 meter. KRI Banjarmasin juga mampu mengangkut 507 pers-onel, 13 unit tank dan dua unit Landing Craft Vehicles. Dengan kecepatan maksimal 15 knot, kapal dilengkapi senjata kaliber 57 mm dan dua unit kaliber 40 mm. Kapal yang juga dilengkapi dengan landasan heli super puma tersebut diawaki 100 orang ABK.

Berhasil memproduksi KRI Banjarmasin- 592,TNI AL akan rencananya memesan sejumlah kapal baru. Seperti yang pernah disebut Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Agus Suhartono, TNI AL berencana membuat sebuah kapal berpeluru kendali. Sama dengan KRI Banjarmasin-592, rencananya kapal tersebut akan melibatkan galangan dalam negeri yang bekerjasama dengan asing.

Selain itu TNI AL juga akan membuat kapal dengan kemampuan landing craft vehicle dengan daya tampung lebih besar. Layaknya sebuah kapal induk, kapal tersebut direncakan bisa menampung lima atau lebih helikopter sekaligus. Ini merupakan kemajuan tersendiri karena TNI AL belum pernah memiliki kapal yang bisa menampung heli lebih dari satu.

Sebagai gambaran, kapal yang juga bertipe LPD ini dirancang secara khusus untuk mampu dibebani senjata 100mm dan dilengkapi dengan ruang untuk sistem kendali senjata (Fire Control System) yang memungkinkan kapal mampu melaksanakan self defence. Sekaligus mampu melindungi pendaratan pasukan dan kendaraan taktis dan tempur, serta untuk pendaratan helikopter.

Adapun spesifikasi kapal nantinya adalah untuk Landing Craft Carrier, yakni dilengkapi Class Landing Craft Unit untuk pendaratan pasukan sepanjang 23 meter. Juga mampu mengangkut kendaraan tempur seperti tank, dengan rincian combat vehicle 22 unit dan tactical vehicle13 unit. Total personel yang terangkut dalam kapal adalah 507 personil, termasuk pasukan dan kru kapal.

Kapal dengan total panjang 125 meter ini, selain mempunyai kemampuan tempur, sekaligus bisa digunakan untuk misi kemanusiaan dan penanggulangan bencana karena bisa mengangkut helikopter sekitar lima unit. Dalam waktu dekat PT PAL Indonesia juga akan mengembangkan desain untuk kapal Korvet 1300 ton dan 1500 ton, termasuk desain Kapal Pemburu Ranjau 600 ton. Itu belum termasuk kapal berpeluru kendali yang akan dipesan TNI AL pada 2010 mendatang.

Dari sisi teknologi, untuk mendukung misi kapal perang, setiap kapal perang di lengkapi dengan komputer sistem navigasi, sistem komunikasi pengontrolan yang canggih dan standar alat perang dengan spesifikasi yang terpasang, tentunya tergantung permintaan. Sejarah pembuatan kapal untuk TNI AL dimulai dari KPC 57 Meter-NAV 1 buatan 1988. Kapal yang dibuat dua unit ini mempunyai panjang total 58,10 meter dan kecepatan maksimal 30 Knot.

Dengan daya angkut 454 Ton dan berpenumpang 42 orang, kapal ini mempunyai kekuatan 2x4130 Horse Power (HP). Generasi selanjutnya adalah KPC 57 meter-NAV II yang diluncurkan dua unit pada 1989. Spesifikasinya sama persis dengan NAV I, namun ada pembaruan dari sisi tampilan, di mana NAV II terlihat lebih modern dan ‘futuristik’ dibandingkandenganpendahulunya. Masih dengan ukuran 57 Meter, PT PAL selanjutnya membuat pesanan KPC NAV III pada 1992 dan 1995 sebanyak tiga unit.

Sekali lagi, kemampuan dan spesifikasi kapal ini ibarat fotocopy dua kapal sebelumnya. Hanya penampilan saja yang diubah mengikuti perkembangan zaman. Itu ternyata masih berlaku di KPC NAV IV dan NAV V yang dirilis pada 2000, 2002 dan 2003. PT PAL masih memakai spesifikasi KPCKPC sebelumnya. Hanya teknologi seperti radar, navigasi dan sistem persenjataan yang dibuat lebih komplit dan mengikuti perkembangan yang ada.

Bagaimana dengan kapal selam ? Nampaknya Indonesia masih harus banyak belajar dan bersabar. Pasalnya sejauh ini galangan dalam negeri belum mampu membuat satu pun kapal selam. Bahkan TNI AL rencananya kembali memesan kapal selam dari negara lain. Seperti pernah diungkapkan Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana Madya TNI Agus Suhartono, TNI AL masih mempertimbangkan tiga negara yang dianggap memiliki teknologi kapal selam termutakhir, yakni Belanda, Rusia dan Korea Selatan.


(Seputar Indonesia)

Pindad Siap Produksi Amunisi Kaliber Besar dan Rudal

20 Desember 2009

Amunisi 105mm (photo : Diomil)

RX520 Siap Terbang Akhir 2010

Teknologi roket buatan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) mengalami kemajuan pesat. Setelah sebelumnya meluncurkan RX320 pada 2008,kini berhasil meluncurkan RX420.

Sukses mengembangkan RX420, bukan lantas Lapan berpuas diri. Akhir tahun ini, Lapan kembali mendesain RX520. Roket yang lebih besar dan memiliki daya jangkau lebih jauh dibanding RX420.

Deputi Bidang Teknologi Dirgantara Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Soewarto Hardhienata mengatakan, RX520 siap terbang akhir 2010. RX520 ini memiliki spesifikasi yang lebih hebat ketimbang RX420.

Sesuai desain awal, RX520 memiliki kecepatan maksimal 1,7 km/detik. RX520 ini memiliki panjang hingga 8,8 meter dengan bahan bakar propelan padat seperti jenis roket lain.

“Daya jangkau roket RX520 mencapai 200 km. Ini lebih jauh dua kali lipat dibanding RX420,” ujar Soewarto kepada Seputar Indonesia. Hanya saja, teknologi roket yang dikembangkan Lapan tidak untuk kebutuhan alat utama sistem persenjataan (alutsista). Roket buatan Lapan hanya untuk keperluan sipil yang akan digunakan sebagai penunjang dalam mengorbitkan satelit.

Untuk diketahui, Kamis (2/7), Lapan berhasil meluncurkan RX420,roket terbesar yang dibuat lembaga antariksa Indonesia. Roket RX-420 adalah roket dengan diameter 420 mm,panjang 6 m dan berbobot 1 ton.Roket ini menggunakan bahan bakar solid-komposit yang ketika diluncurkan ke angkasa memiliki jangkauan 100 km dengan kecepatan hingga 4,5 mach atau 4,5 kali kecepatan suara.

Saat peluncuran,roket eksperimen RX420 berdiri dengan sudut elevansi 70 derajat di lapangan desa Cilautereun Kecamatan Pameungpeuk Kabupaten Garut. Tak beberapa lama,suara roket menderu, diiringi kepulan asap putih membumbung. Hanya dalam hitungan detik,roket melesat ke angkasa. Lapan sendiri konsentrasi dalam pembuatan roket untuk keperluan sipil. Nantinya roket-roket buatan Lapan tersebut akan digunakan sebagai penunjang dalam mengorbitkan satelit milik Indonesia.

“Kapasitas roket buatan Lapan memang untuk keperluan sipil. Jadi kami fokus dalam membuat roket untuk mengorbitkan satelit,”tandasnya. Meski demikian, teknologi roket yang dibuat Lapan ini sudah bisa dikembangkan untuk membuat senjata pelindung alutsista. Jika Departemen Pertahanan (Dephan) mau mengadopsi teknologi yang dimiliki Lapan sebagai roket berhulu ledak, bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi satu kekuatan yang ditakuti oleh bangsa-bangsa lain.

Soewarto sendiri secara terbuka menerima jika Dephan ingin bekerja sama mengembangkan dalam pembuatan rudal balistik dengan jangkauan yang lebih jauh. Untuk saat ini, sesuai dengan tugasnya, Lapan hanya membuat roket untuk keperluan sipil.Teknologi roket yang dikembangkan Lapan, pada dasarnya merupakan dual use, di mana bisa dipakai untuk keperluan sipil maupun militer.

Namun, Lapan sendiri hanya mengembangkan roket untuk keperluan sipil karena sesuai dengan kewenangannya. Sementara itu, jika untuk keperluan militer diserahkan kepada Dephan. “Kami memang pernah bekerja sama membuat roket kaliber 122 untuk TNI AL, tapi kewenangan dari Lapan sejatinya bukan itu. Kami hanya mengembangkan roket pendorong untuk satelit. Untuk keperluan militer, biar Dephan yang bicara,”paparnya.

Jika saja Lapan dan Dephan bersinergi membuat rudal balistik memakai RX520, bukan tidak mustahil rudal tersebut mampu menjadi senjata yang takuti. Dengan daya jelajah mencapai 200 km,senjata balistik ini akan mampu melindungi pulau-pulau di Indonesia. Bahkan jika peluncuran di lakukan di Batam, bukan tidak mustahil bisa menembus hingga Malaysia dan Singapura. Ketua Pokja Pertahanan Komisi I DPR Tubagus Hasanuddin mengatakan Indonesia memang sudah saatnya memiliki rudal berhulu ledak buatan sendiri.

Teknologi yang dimiliki Lapan, sudah bisa dipakai untuk membuat rudal balistik jarak menengah.“Indonesia harus mandiri. Dephan harus bekerja sama dengan Lapan membuat rudal berhulu ledak,”tuturnya. Tubagus mengatakan, keberhasilan Lapan menguji coba roket roketnya membuat Indonesia semakin ditakuti. Roket buatan Lapan tinggal dibekali hulu ledak di ujungnya dan menciptakan direksi untuk mengarahkan koordinat sasaran. “Sebagai negara kepulauan, tentu dibutuhkan rudal yang mampu melindungi pulau-pulau tersebut dari serangan musuh,” lanjutnya. Roket buatan Lapan merupakan teknologi hasil ciptaan ilmuwan Indonesia. Lapan bahkan menciptakan bahan bakar racikan ilmuwan Indonesia yang tak kalah dibanding buatan ilmuwan luar negeri. Bahan bakar racikan ilmuwan Lapan tersebut bahkan telah diuji coba di rudal Exocet TNI yang tak terpakai. Hasilnya, kecepatan rudal menjadi 2 kali lipat dibanding kecepatan dengan menggunakan bahan bakar rudal asal Prancis.

Amunisi Kaliber Besar

Sementara itu, PT Pindad sudah menguasai teknologi untuk amunisi kaliber kecil. Tahun tahun mendatang, PT Pindad akan mengembangkan amunisi kaliber besar. Menurut juru bicara PT Pindad Timbul Sitompul, amunisi kaliber 20 mm dan kaliber 120 mm telah dilakukan pengembangannya pada tahun 2009 ini. Kemudian pada 2010, PT Pindad merencanakan akan memproduksi amunisi kaliber 105 mm.

Selanjutnya pada 2011, akan dikembangkan warhead dan rudal dengan mode proximity fuse. Proximity fuse menyebabkan kepala rudal akan meledak pada jarak yang telah ditentukan dari target. Teknologi proximity fuse ini menggunakan kombinasi dari satu atau beberapa sensor di antaranya radar, sonar aktif, infra merah, magnet, foto elektrik. Tidak hanya itu,PT Pindad juga merencanakan akan memproduksi rudal darat pada tahun 2012 mendatang.


18 Desember 2009

EC175 : The Quietest Helicopter Makes Maiden Flight

18 Desember 2009

EC-175 the quietest medium helicopter (all photos : Eurocopter)

Eurocopter Celebrates the Maiden Flight of Its New EC175 Helicopter

MARIGNANE, France --- The EC175, the latest member of the Eurocopter range, today performed its official maiden flight in the skies above Marignane. At the controls were Alain Di Bianca, Eurocopter Experimental Test Pilot, as well as Michel Oswald and Patrick Bremont, Flight Test Engineers. Officials, industrial partners, launch customers and Eurocopter employees were all on hand for the event.

This newest addition to the Eurocopter family in the 7-metric-ton class has been developed and manufactured in cooperation with the China Aeronautics Industries Group Corp. (AVIC), a longstanding Eurocopter partner.

"It's an immense pleasure to see the EC175 soaring through the skies," declared Eurocopter CEO Lutz Bertling. "This helicopter was developed in close cooperation with our customers to ensure it would be perfectly suited to their needs—particularly in terms of safety and comfort. This is the product everyone's been waiting for on the civil market. I would like to congratulate and thank our colleagues from China, all our personnel who invested so much time and effort in this project, and, of course, our industrial partners. Their combined efforts have made it possible for the EC175 to perform its maiden flight right on schedule, that’s to say exactly four years after the program was launched, which is a real technological wizardry "

The new generation EC175 has a multirole design and can carry out a wide scope of civil missions. It slots perfectly into the Eurocopter range between the AS365 Dauphin (4/5 metric tons) and the AS332/EC225 Super Puma (9/11 metric tons) families. It benefits from a mix of proven and advanced technologies, making it a very performing and reliable helicopter. Depending on its configuration, it can hold up to 16 passengers.

A total of 114 EC175s have already been ordered by 14 different customers. Certification of the EC175 by the European Aviation Safety Agency (EASA) is slated for 2011, and the first deliveries are scheduled to follow in 2012.

Eurocopter expects to sell 800 EC175s over the next twenty years, creating nearly 2000 new direct and indirect jobs.

Cooperation


The EC175 program was launched on December 5, 2005. The helicopter was developed in cooperation with Chinese industry in just four years thanks to innovative new computing tools that offer major time savings.

The work teams, separated by some 10,000 km, have been working together under the aegis of the French and Chinese governments. Their cooperation has been exemplary, and has benefitted from 30 years of close ties between the partners, first through the Dauphin and then through the EC120.

During the development phase, an average of 50 Chinese employees joined their Eurocopter colleagues in France to define the helicopter's characteristics. Now it’s the turn of Eurocopter's employees to reciprocate, and a staff of 30 is currently on permanent assignment in China to assist the teams with design, quality, production and procurement work.

The development and industrialization work has been equally split between Eurocopter and AVIC according to the specialties of each company. Two different helicopters will result from the common platform: The EC175 manufactured, sold and maintained by Eurocopter in Marignane and the Z15, manufactured, sold and maintained by the AVIC Group.

Missions The EC175 is a medium-lift twin-engine helicopter that can perform many different civil missions. Initially designed for the oil & gas industry to carry work teams to the platforms, it meets the strictest safety and availability requirements that have become a must for operators in the industry.

The aircraft carried out four test flights between Dec. 4 and Dec. 17. (Eurocopter photo)The helicopter is also being developed for missions such as search and rescue and emergency medical transport, and can also meet the needs of the commercial aviation industry for VIP and corporate transport.

Technical characteristics


The EC175 benefits from the most cutting-edge technology available. It is powered by twin Pratt & Whitney PT6C-67E engines with dual-channel new generation Full Authority Digital Engine Controls (FADEC). With its completely new avionics, the EC175 has an effective and easy-to-use man machine interface, which considerably reduces the pilot workload. Both the pilot and co-pilot can therefore concentrate more fully on their missions.

The EC175 is indeed equipped with a full screen cockpit and a digital four-axis Automatic Flight Control System (AFCS) that outperforms any other automatic pilot system on the market. It also has a five-blade Spheriflex main rotor and an airframe that complies with the most stringent certification requirements.

The EC175 offers the widest cabin of any helicopter in its category, which provides an unmatched level of comfort. The aircraft can be boarded easily using the wide sliding doors on either side of the fuselage and the immense baggage compartment is also accessible from both sides of the helicopter. All very large windows offer a great visibility and can be jettisoned so that passengers and crew can quickly exit the helicopter in the event of an emergency.

The EC175 has also been designed to reduce vibration levels to a minimum; its blade design has taken forward the concepts that have proven so successful on the EC155 and EC225. Special care has been taken to reduce both internal and external noise levels to make the EC175 the quietest helicopter in its class, offering levels well below the limits recently established by the International Civil Aviation Organization.

(Eurocopter)

Vietnam Seeks Military Deals WIith France

18 Desember 2009

Vietnam Navy reportedly interested with EC-155 another varian of Dauphin : a medium lift helicopter (photo : fas)

HANOI, (AFP) - Vietnam wants to buy helicopters and army transport aircraft from France, state media said Friday, as part of the communist country's drive to modernise its antiquated military.

The request came during a visit on Thursday to France by Vietnam's Minister of Defence Phung Quang Thanh, who met his French counterpart Herve Morin, the Voice of Vietnam reported on its website.

"Minister Thanh asked France to help Vietnam train its army medical personnel and sell the country helicopters, transport aircraft and other modern military equipment," Voice of Vietnam said.

"The two ministers signed an agreement on defence co-operation between the two countries and agreed to hold further talks on defence issues."

Thanh travelled to France from a rare visit to the United States, where he held talks with US Defence Secretary Robert Gates.

Vietnam defeated both France and the US in lengthy wars decades ago.

On Tuesday, Vietnam and Russia signed a long-planned arms deal during avisit by Prime Minister Nguyen Tan Dung to Moscow.

Details were not released but Russia's Interfax news agency reported that Vietnam had agreed to buy six ultra-quiet Kilo-class diesel-electric submarines for about two billion dollars.

Analysts said it was a major investment aimed at bolstering claims against China over potentially resource-rich islands in the South China Sea.

The deal with Russia also reportedly included Sukhoi Su-30MK2 warplanes, which are among the world's most advanced.

Lieutenant General Nguyen Chi Vinh, Vietnam's deputy minister of defence, told reporters last week that the country is considering many possible partners to help modernise its military.

(AFP)

Upgraded Aussie Frigate Fires SM-2 Missile

18 Desember 2009

Standard Missile 2 Acceptance Test and Evaluation firing in the East Australian Exercise Area on HMAS MELBOURNE, the first firing of it's kind. (photo : DefenceGovAu)

Navy’s Air Defence Capability Grows Stronger

Greg Combet, Minister for Defence Personnel, Materiel and Science today announced that HMAS Melbourne has fired a Standard Missile (SM 2) in the East Australian Exercise Area off Jervis Bay.

“The launch of the SM 2 demonstrates an updated Naval Air Defence capability for the Royal Australian Navy (RAN), which will be further enhanced over the next year,” Mr Combet said. “

This missile firing was the first time a SM 2 has been fired from an Adelaide class frigate. The missile was prepared, launched and supported in flight before engaging a target.

HMAS Melbourne (photo : Maritimequest)

“HMAS Melbourne is an Adelaide class guided missile frigate (FFG) that has completed the multi-million dollar FFG Upgrade Program and has recently undergone additional SM-2 related alterations to its combat system.

“HMAS Melbourne is now equipped with two modern missile systems to combat anti-ship missiles and aircraft.“

The missile was fired from the Missile Launching System that has recently been modified as part of the project to replace the SM 1 in the Upgraded FFG. This firing is a significant achievement and provides confidence in the ship’s updated weapon control system.

“The firing was supported by the combat system installed during the FFG Upgrade Project with revised Weapon Control System software being developed by an international team to employ the SM 2,” Mr Combet said.

Although variations of the Adelaide class guided missile frigates are in service with many navies around the world, only the RAN Adelaide class FFG have been fitted with SM 2.

(Defense Aerospace)

Russian Shipyard Built Frigate for Vietnam

18 Desember 2009

Gepard class frigates (photo : Militaryphotos)

Russian-made frigate Gepard 3.9 built under order of Vietnamese Navy was launched in Tatarstan. The ship developed in 2003 was constructed by shipwrights of Zelenodolsky Zavod named after A.M. Gorky, informs ITAR-TASS.

In total, Vietnamese Navy ordered two Gepard frigates; the second one will be delivered to the customer in 2010. The length of Gepard makes 102 meters, displacement is 2,100 tonnes. The ship's crew is up to 100 men.

Gepard new design (photo : Militaryphotos)

The frigate is armed with Uran-E antiship missile system, 76.2-mm gun mount AK-176M, Palma anti-aircraft artillery system and two 30-mm gun mounts AK-630M. The heliport for Ka-28 or Ka-31 is also provided at the deck of Gepard.

Delivery contract of two frigates for Vietnamese Navy was signed in 2006. Gepard 3.9 will pass mooring trials early spring 2010 and sea trials – in May 2010, explained representatives of Zelenodolsky Zavod to Interfax. Vietnamese party will receive the ship in autumn.